Minggu, Juli 18, 2010

Peneliti = Pembuat Inovasi = Produsen HKI


Apa yang dimaksud dengan peneliti ? Apakah yang saya lakukan dan kerjakan selama ini sudah sesuai dengan makna profesi peneliti ? Mengapa penelitian yang telah saya lakukan tidak diapresiasi publik ? Aneka pertanyaan ini senantiasa menghantui para peneliti, atau setidaknya personil-personil yang sudah telanjur 'dicap berprofesi sebagai peneliti' hanya karena statusnya sebagai sivitas di lembaga penelitian. Meski bukan publik yang mempertanyakan (karena umumnya publik awam dengan isu ini), pertanyaan (dari diri sendiri) yang menghantui sivitas peneliti ini justru menjadi beban moril yang cukup berat. Bagi sebagian, pertanyaan ini memotivasi kinerja diri sendiri sebagai peneliti, namun (sayangnya) bagi sebagian yang lain justru mendorong untuk mencari kambing hitam diluar diri dan komunitasnya...

Artikel di bawah ini sekedar membantu diri sendiri untuk mendefinisikan (dan mengingatkan kembali) apa yang seharusnya (atau tidak seharusnya) dilakukan peneliti...

Penelitian dan inovasi

Bila berbicara peneliti sebagai sebuah profesi, tentu terkait erat dengan penelitian sebagai sebuah pekerjaan. Mengapa ada pekerjaan yang disebut sebagai penelitian, sehingga muncul profesi peneliti ? Penelitian adalah sebuah pekerjaan untuk menghasilkan inovasi. Dengan kata lain hasil penelitian adalah inovasi, yang tidak lain adalah penemuan baru. Ini yang membedakan penelitian dengan sekedar melakukan eksperimen seperti saat belajar di sekolah.

Tanpa tujuan menghasilkan inovasi, sebuah kegiatan tidak layak diklaim sebagai kegiatan penelitian. Sebaliknya tidak ada inovasi yang dihasilkan tanpa suatu proses penelitian. Tentu saja makna peneliti, proses penelitian dan inovasi disini tidak selalu harus mengacu ke stereotipe bekerja di lab, atau harus dilakukan oleh peneliti profesional. Secara teknis siapapun sejatinya bisa melakukan penelitian dan menghasilkan inovasi.

Bagaimana mengatakan bahwa sebuah hasil penelitian adalah inovasi ? Inovasi tidak lain adalah penemuan baru. Tetapi harus ditekankan disini bahwa inovasi tidak selalu harus sesuatu yang sama sekali baru. Sebaliknya inovasi umumnya berupa penemuan kecil meski baru. Sehingga selalu dikatakan kemajuan / perkembangan teknologi merupakan akumulasi dari ribuan inovasi sebelumnya.

Inovasi bisa dilakukan di semua level dari sebuah rantai produk akhir. Sebagai ilustrasi yang pernah saya sampaikan di Pengarahan CPNS LIPI 2008 misalnya [1], dari sebuah produk akhir kecap botol, inovasi bisa muncul di :
  • Bahan dasar : pemakaian bahan yang sama sekali baru (non-kedelai), modifikasi bahan lama (kedelai) tetapi dengan sifat baru, dll.
  • Proses produksi : sistem baru yang lebih efisien, pemakaian mesin, dll.
  • Kemasan : pemakaian kemasan dengan bahan baru (dari bahan gelas ke plastik), desain kemasan baru (dari ukuran besar ke ukuran kecil), dll.
  • Pemasaran : metoda pemasaran baru (pemakaian iklan di media), sistem distribusi baru, dll.
Dari sebuah produk akhir yang sama, inovasi bisa terjadi di semua level dan pasti mencakup banyak disiplin keilmuan, dari teknik, hayati sampai sosial ekonomi. Yang terpenting dan merupakan esensi terkait dengan penelitian adalah munculnya penemuan baru.

Bagaimana membedakan sebuah produk penelitian adalah merupakan penemuan baru atau sekedar pengulangan dari penemuan sebelumnya ? Disinilah pentingnya Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI). HKI dalam berbagai bentuknya merupakan salah satu bentuk dan mekanisme penilaian sebuah inovasi.

HKI

Inovasi merupakan produk akhir dari sebuah kegiatan penelitian. Sebaliknya, pada era ini penelitian merupakan proses pencarian inovasi dengan memakai metode ilmiah yang baku. Metode ilmiah berarti bisa diulang dan diverifikasi oleh siapapun untuk mendapatkan hasil yang sama selama seluruh prosedur yang sama dilakukan. Karena itu penelitian yang menghasilkan inovasi bisa dipastikan merupakan penelitian ilmiah. Poin ini yang membedakan apakah sebuah klaim inovasi adalah realiti ataukah fiksi, fisika ataukah metafisika dan seterusnya.

HKI yang merupakan representasi luaran sebuah penelitian (ilmiah) bisa berupa :
  • Karya tulis ilmiah : yang merupakan laporan penelitian yang diterbitkan dalam bentuk buku maupun artikel di jurnal ilmiah yang telah melalui proses penilaian oleh pihak ketiga.
  • Paten : aplikasi hasil rekayasa fisik baik yang regular maupun yang sederhana.
  • Hak cipta : aplikasi hasil rekayasa non-fisik.
  • Desain sirkuit.
  • ... dan lain-lain sesuai regulasi yang berlaku [2].
Tetapi apapun bentuk luaran HKI, semuanya mengacu pada kriteria dasar yaitu unsur kebaruan / inovasi !

Penelitian ilmiah yang merupakan satu rantai memproduksi inovasi meliputi 4 proses berurutan, tidak terpisahkan dan saling memberikan timbal balik antara yang satu dengan yang lain [3] :
  1. Pencarian : proses menemukan masalah awal.
  2. Seleksi : proses untuk memilah dan memilih masalah-masalah yang telah ditemukan sesuai relevansi dan kemampuan untuk menanganinya.
  3. Eksplorasi : proses untuk mencari dan memilih aneka alternatif solusi baru sebagai awal dari inovasi yang akan dihasilkan.
  4. Sintesa : proses untuk membuktikan dan membakukan solusi yang dipilih.
Keempat proses diatas merupakan bagian yang secara sadar ataupun tidak selalu dilakukan seorang peneliti dalam sebuah penelitian ilmiah. Sayangnya sebagian merasa cukup hanya sampai pada proses kedua, yaitu pencarian dan seleksi masalah. Fenomena ini biasa kita lihat dalam bentuk seorang pengamat. Karena itu peneliti sebagai pelaku penelitian ilmiah bisa dikatakan sebagai (dan harus menjadi seorang) pemberi solusi baru atas suatu masalah atau problem solver. Dengan kata lain seorang peneliti pada hakekatnya harus menjadi bagian dari problem solver. Dilain pihak seorang pengamat sejatinya hanya sampai pada tataran problem provider. Semoga kita termasuk dalam kategori problem solver ini dan bukan sekedar menjadi problem provider, apalagi masuk dalam golongan problem maker...;-)

Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan peran pengamat. Pengamat memiliki peran penting sebagai mediator antara peneliti dan publik awam. Karena pada prakteknya perbedaan antara pengamat (apakah komentator di media ataupun tukang seminar) dan peneliti adalah tipis. Dalam konteks diseminasi informasi ke publik, peneliti adakalanya juga harus rela berperan sebagai pengamat. Poin saya adalah : jangan sampai kita puas dan berhenti hanya sebagai pengamat. Seolah-olah dengan menjadi pengamat kita telah menyelesaikan tugas dan tanggung-jawab sebagai peneliti !

Bagaimana dengan "luaran riil" sebagai hasil akhir proses inovasi ? Luaran riil dalam bentuk HKI ini bisa beragam, mulai dari paten, hak cipta, karya tulis di jurnal ilmiah dan lain-lain. Tetapi "luaran riil" tidak berarti luaran dalam bentuk "produk akhir". Untuk sampai produk akhir, diperlukan proses selanjutnya yang akan melibatkan industri, pemasaran dsb yang semuanya tidak mungkin / perlu dilakukan oleh peneliti. Sehingga kalaupun peneliti mendapatkan manfaat finansial langsung dari inovasinya, umumnya dalam bentuk royalti dari pemakaian luaran HKI yang dihasilkan. Bila peneliti ingin langsung terjun memproduksi, sangat dianjurkan untuk keluar dan fokus ke usaha tersebut seperti biasa terjadi di Silicon Valley atau Bangalore. Karena proses memproduksi dan memasarkan membutuhkan kerja keras dan konsentrasi tersendiri, sehingga tidak bisa dilakukan sebagai sampingan. Ingat : peneliti mungkin lebih mumpuni secara akademis, tetapi peneliti bukan superman yang bisa apa saja !

Peneliti

Menyadari peneliti adalah sebuah profesi sangat penting. Tetapi dilain pihak profesi peneliti hanyalah salah satu dari ribuan profesi yang ada di dunia ini, tidak ada keistimewaan apapun, apalagi lebih baik / unggul dari profesi lain. Pilihan atas profesi ini juga merupakan pilihan pribadi dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi seperti profesi lain.

Sebagai sebuah pilihan profesi, setiap sivitas tentu harus melakukan strategi-strategi untuk memuluskan jalan menjadi profesional sejati kelak. Tetapi khusus untuk profesi peneliti ada beberapa poin penting yang mungkin bisa dijadikan acuan :
  • Perluas wawasan dengan aktif menggali informasi dari berbagai sumber : komunikasi intensif dengan komunitas (sumber informasi paling efektif untuk meningkatkan skill).
  • Lakukan tahap demi tahap : meningkatkan persentase keberhasilan dan menabung rekam jejak.
  • Hindari loncatan terlalu jauh, kegagalan saat ini = mengikis potensi masa depan !
  • Jujur menilai diri sendiri dan menyesuaikan obsesi dengan realita : bedakan mimpi dan obsesi !
Dalam proses diatas, sekali lagi harus selalu mengingat :
  • Peneliti bertugas melakukan penelitian sesuai minat ditambah metode ilmiah sesuai bidang yang ditekuni.
  • Produksi inovasi = solusi masalah.
  • Diseminasi : karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah dengan visibilitas memadai (= jurnal yang di-indeks Scopus), paten, hak-cipta, dll.
Mengapa poin terakhir diatas sangat penting ? Karena mengacu pada sejarah :
  • Tidak ada aplikasi tanpa luaran HKI riil (Cina, India, ...) : jangan bicara aplikasi kalau tidak ada luaran HKI riil.
  • Rata-rata global hanya 5 persen HKI sampai ke aplikasi / menjadi top-cited paper : buat sebanyak mungkin HKI untuk meningkatkan potensi aplikasi !
  • Tidak ada penelitian yang tidak dihargai dan tidak berguna, yang ada adalah penelitian yang tidak menghasilkan luaran yang sesuai !
  • Tidak perlu dan jangan meminta orang lain menghargai kita, tetapi buat sesuatu yang layak dihargai orang lain...
Sampai dimanakah Anda ? Benarkah penelitian kita kurang diapresiasi publik karena demikian bodohnya publik ? Apakah bukan karena kita yang ternyata belum sampai pada taraf melakukan penelitian, tetapi baru sekedar eksperimen pengulangan saja ? Semoga artikel pendek ini bisa menjadi panduan untuk melakukan mawas diri sebelum mengomel tiada henti sembari menyalahkan pihak lain atas aneka masalah yang ada diantara kita...;-)

Artikel ini disampaikan oleh Bapak Dr. Laksana Tri Handoko (P2 FISIKA LIPI dan Juri diajang LKIR dan NYIA) di Blog LIPI (http://blog.sivitas.lipi.go.id/)

1 komentar: